(N)EVER OLD TO LEARN
Sebuah hal yang memang sudah menjadi kewajiban yaitu belajar. Bukankah dalam firman yang pertama kali turun Allah telah memerintahkan pada kita untuk “iqro” (belajar)? maka tidak ada ampun bagi orang yang tidak mau belajar.
Hal diatas dipertegas lagi dengan beberapa hadis yang memerintahkan kita untuk belajar. ada yang berbunyi. uthlubul ‘ilma walau bishshin (carilah ilmu walau sampai ke negeri china. Ada juga yang berbunyi uthlubul ilma minal mahdi ilal lahdi. (carilah ilmu mulai sejak dari buaian sampai masuk liang lahat). Sungguh sebuah perintah yang berlaku sepanjang masa, selama kita hidup maka belajar masih menjadi kewajiban. Maka bagi yang tidak mau belajar lebih baik mati. Meninggalkan kehidupan ini.
Sejarah mencatat beribu orang terkenal (Imam Syafi’i. Ibnu Hajar al-Asqolani, Hasan al-Banna, Sayyid Quthb, HAMKA, Pramoedya Ananta Toer dan Alwi Syihab diantaranya) melakukan aktivitas belajar ini tak kenal waktu. Mulai sejak bangun dari tidur sampai tidur lagi mereka terus belajar. Sejak pagi bahkan sampai larut malam mereka masih membaca dan menela’ah kitab-kitan (buku). Tak pernah lelah. Tak kenal waktu. Bahkan mereka telah menemukan kenikmatan dalam belajar melebihi kenikmatan makanan yang dihidangkan padanya. Mata mereka terpejam hanya beberapa jam saja. Istirahat tak lagi terbersit dalam benak mereka.
Namun kenapa beberapa santri yang masih belajar setelah jam sembilan harus dihalau untuk tidur, sedang mereka masih menikmati belajarnya? Mengapa mereka harus merapikan buku-bukunya sedang tugas sekolah belum selesai mereka garap? Kenapa keasyikan belajar—yang tiada lain adalah kewajiban—mereka harus terhenti hanya karena sudah jam sembilan?
Kenapa waktu belajar harus dibatasi? Bukankah itu akan menghambat kemajuan intelektual mereka sebagai generasi penerus bangsa juga agama? kalau mereka bodoh apa yang akan terjadi sedangkan musuh-musuh Islam telah demikian maju di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi? Kalau hanya demi kebaikan dan kesehatan mereka, apakah harus itu yang dikorbankan? Bukankah taruhannya adalah kemajuan mereka sendiri dan juga kebangkitan kejayaan islam? Bila memang peraturan yang menentukan, apa tidak ada peraturan yang lebih baik dari peraturan yang telah berlaku?
El-Kifli
Sebuah hal yang memang sudah menjadi kewajiban yaitu belajar. Bukankah dalam firman yang pertama kali turun Allah telah memerintahkan pada kita untuk “iqro” (belajar)? maka tidak ada ampun bagi orang yang tidak mau belajar.
Hal diatas dipertegas lagi dengan beberapa hadis yang memerintahkan kita untuk belajar. ada yang berbunyi. uthlubul ‘ilma walau bishshin (carilah ilmu walau sampai ke negeri china. Ada juga yang berbunyi uthlubul ilma minal mahdi ilal lahdi. (carilah ilmu mulai sejak dari buaian sampai masuk liang lahat). Sungguh sebuah perintah yang berlaku sepanjang masa, selama kita hidup maka belajar masih menjadi kewajiban. Maka bagi yang tidak mau belajar lebih baik mati. Meninggalkan kehidupan ini.
Sejarah mencatat beribu orang terkenal (Imam Syafi’i. Ibnu Hajar al-Asqolani, Hasan al-Banna, Sayyid Quthb, HAMKA, Pramoedya Ananta Toer dan Alwi Syihab diantaranya) melakukan aktivitas belajar ini tak kenal waktu. Mulai sejak bangun dari tidur sampai tidur lagi mereka terus belajar. Sejak pagi bahkan sampai larut malam mereka masih membaca dan menela’ah kitab-kitan (buku). Tak pernah lelah. Tak kenal waktu. Bahkan mereka telah menemukan kenikmatan dalam belajar melebihi kenikmatan makanan yang dihidangkan padanya. Mata mereka terpejam hanya beberapa jam saja. Istirahat tak lagi terbersit dalam benak mereka.
Namun kenapa beberapa santri yang masih belajar setelah jam sembilan harus dihalau untuk tidur, sedang mereka masih menikmati belajarnya? Mengapa mereka harus merapikan buku-bukunya sedang tugas sekolah belum selesai mereka garap? Kenapa keasyikan belajar—yang tiada lain adalah kewajiban—mereka harus terhenti hanya karena sudah jam sembilan?
Kenapa waktu belajar harus dibatasi? Bukankah itu akan menghambat kemajuan intelektual mereka sebagai generasi penerus bangsa juga agama? kalau mereka bodoh apa yang akan terjadi sedangkan musuh-musuh Islam telah demikian maju di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi? Kalau hanya demi kebaikan dan kesehatan mereka, apakah harus itu yang dikorbankan? Bukankah taruhannya adalah kemajuan mereka sendiri dan juga kebangkitan kejayaan islam? Bila memang peraturan yang menentukan, apa tidak ada peraturan yang lebih baik dari peraturan yang telah berlaku?
El-Kifli