Sebuah harapan yang tak pernah habis aku gantung. Aku ingin sukses.
Aku ingin membahagiakan diriku dan keluargaku. Aku ingin ibuku bahagia dalam hidupnya. Namun masih sering kali aku membuatnya kecewa. Salah satunya kemarin (sudah lama) saat ibu menginginkan aku untuk tetap tinggal di rumah. Ya. Tinggal di rumah bersama beliau. Beliau menginginkan aku teta di rumah. Nggak usah bekerja. Oh maaf. Sebenarnya bekerja juga. Ya bekerja membantu pertanian yang ibu garap.
Itu permintaan ibu padaku. Namun aku membuatnya kecewa dengan pergi dari rumah. Entah egokah aku? Durhakakah aku? Maafkan aku ibu. Aku juga ingin ibu bahagia. Tapi Cuma beda cara Bu. Maafkan aku, mungkin caraku ini ibu nggak paham. (mungkin ini yang disebut dengan jurang pemahaman antara orang tua dan generasi penerusnya).
Aku masih muda bu. Perjalanan hidupku masih panjang. Aku masih harus menapaki sekian banyak jalan yang belum pernah aku tempuh. Aku masih harus banyak berbekal buat masa depanku (ugh… masa depan. Sok idealis). Bekalku, dan mungkin masa depanku, bukan hanya ada di desa ini Bu. Bukan hanya ada di daerah aku lahir. Aku harus keluar dari desa ini. Bukankah Imam Syafi’I juga berkelana? Bukankah orang-orang besar juga mengembara. Bukankah kebijaksanaan akan ditemukan dalam perantauan. Bukankah dalam perantauan akan banyak ilmu yang akan digapai.
Ibu tidak usah khawatirkan rizkiku. Ibu tidak usah memikirkan aku akan makan apa. Ibu tidak usah merisaukan diri karena tidak bisa mengirimiku. Aku tidak minta kiriman Bu. Aku tidak minta ibu mengirimiku makanan atau pun uang. Hanya restu dan doa yang aku pinta, Bu. Ibu harus percaya bahwa aku bisa menjaga diri dan memberi makan diriku sendiri Bu. Allah akan memberi rizki pada hambaNya yang berusaha, Bu. Allah, bahkan menjamin rizki hambaNya yang mencari ilmu di jalanNya, Bu. Anakmu yakin, ibu percaya akan kebesaran Allah bukan?
Atau, apakah ibu mengkhawatirkan keadaan ibu tanpa anakmu ini? Aku yakin dengan haqul yakin bu, Allah akan menjaga ibu. Allah akan memberi ibu rizki sebagaimana Ia juga memberiku rizki. Aku yakin, Allah akan menjaga ibu sebagaimana Ia menjagaku dalam perantauan, Bu. Bukankah Ibu selalu berdoa padaNya. Bukankah ibu selalu curhat padanya di tengah malam-tengah malam umur ibu? Bukankah ibu juga mewarisi kekuatan almarhum ayah, Bu. (ibu saat nulis kalimat ini, aku kangen ayah, Bu…). Bukankah ketegaran hati ibu juga sudah tertempa setelah sekian lama hidup bersama ayah? (dan semoga aku juga memilikinya…)
Sekarang, di sini,di tempatku mengais puing-puing harapan, aku sudah sedikit banyak belajar arti perjuangan dan pengorbanan. Aku harus mengorbankan waktu istirahatku untuk bekerja. Bukan. Bukan bekerja tapi berjuang dan beribadah. Bukankah mencari nafkah adalah ibadah? (Iya. tapi bagiku yang belum nikah ini apakah mencari nafkah itu termasuk ibadah? Ah semoga saja ibadah. Bukankah semua amal tindakan yang dikerjakan dengan menyebut namaNya jadi ibadah? Apalagi ini untuk mencari ilmu dan membahagiakan keluarga? Ah semoga saja… Amien…). Aku juga harus mengorbankan beberapa tahun kuliahku untuk mengalah demi adikku sekolah. Ya aku juga korbankan uang yang aku dapatkan untuk membiayai adikku melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi. Ibu bukankah ini adalah berkat doamu… makasih oh ibu.. Makasih ya Allah.
Sekarang, di sini, di tempatku menyusun kepingan puzzle cita-cita dan bahagia, aku temukan diriku menangis dan tertawa bergantian. Aku temukan diriku berkecukupan dan kekurangan bergantian. Aku dapati aku sudah sedikit bisa menghidupi diriku sendiri dan adikku, walau terkadang gelombang ombak tidaklah kecil aku hadapi. Tapi aku yakin, aku akan berhasil menggapai kebahagiaan yang aku cita-citakan.
Namun terkadang aku masih merasa sedih dalam keoptimisanku. Aku masih terkatung-katung di tengah-tengah lautan cita-cita tanpa aku lihat tepiannya. Ah semoga perahuku lekas berlabuh di pelabuhan besar tingkat internasional. Ah semoga mentalku masih mental juara. Semoga mentalku masih mental serang pejuang. Semoga mentalku masih mental seorang perantau yang tak pernah putus asa. Dan semoga adikku juga mempunyai mental-mental seperti itu.
Ibu, doakanlah kami berdua. Doakan kami sebagai anak-anakmu yang engkau sayangi dan kasihi. Doakan kami agar cita-cita kami tercapai. Doakan kami supaya kami lekas berlabuh dalam pelukanmu kembali duhai ibuku tersayang. Aku kangen, Bu…7:12:35 AM
0 comments:
Post a Comment