Wednesday, November 18, 2009

Wednesday, November 18, 2009 |

PELAJARAN TANGIS DAN TAWA

Aku terbangun dalam keheningan malam. Aku sadar. Ini adalah niatku. Aku berniat untuk lebih akrab lagi dengan Tuhanku. Ya Tuhanku. Tuhanku yang telah memberi aku hidup ini. Tuhanku yang telah memberi aku keluarga ini. Tuhanku yang telah memberi aku begitu banyak kasih dan sayang. Ya Tuhan, aku ingin selalu bercumbu denganMu, namun egoku terkadang mengalahkanku.

Aku hidup. Karena Tuhanku. Ia telah memberi aku kesempatan menghirup dunia ini sejak 26 tahun yang lalu. Aku lahir lahir di enam November—yang setahuku berbarengan dengan lahirnya wanita berjiwa besar negeri ini, ibu Siti Nur Fadhillah, mantan menteri kesehatan dalam Kabinet Indonesia Bersatu I. Aku bangga dengan tanggal lahirku. Aku juga bangga dengan bintang. Scorpio. Walau sejujurnya aku juga tidak tahu banyak dengan bintang itu untuk apa. Bahkan sering kali aku bertanya-tanya ketika membaca ramalan bintang, baik di majalah atau juga yang tertulis dikoran, kok bisa yach hampir sama dengan yang aku jalani dalam hidup ini. Ah peduli amat. Aku tak mempercayainya karena dulu aku ditegur oleh pamanku suatu kali saat membaca begituan.

Hidupku, menurutku, adalah sebuah perjalanan pembelajaran. Pembelajaran semua mata pelajaran. Pernah aku belajar mata pelajaran menangis. Ya. Itu terjadi saat aku lahir di dunia ini. Kata ibu, aku sering menangis waktu kecil. Bahkan ketika beranjak anak-anakpun aku masih sering menangis. Terutama saat pulang sekolah dasar dan tak ku temui ibu di rumah. Aku langsung nangis di depan pintu. Tidak mau masuk rumah. Tapi malah menjerit-jerit memanggil nama ibuku. (sepotong kenangan yang masih aku ingat. )

Pelajaran ini terulang saat aku di akhir semester dua di tahun keduaku duduk d sekolah menengah. Saat itu aku sakit tipes. Seminggu aku terbaring. Menginap di klinik pondok pesantren. Di tambah tidak punya uang—maklum aku termasuk santri yang jarang dikirim oleh ortuku, aku pun berniat meminta uang kepada ayah yang sedang berdagang di Jakarta. Namun yang terjadi sungguh sebuah hal yang tak pernah aku bayangkan. Aku dimintanya pulang. Pulang ke rumah dan tak kembali ke pondok untuk selama-lamanya. Oh sedihnya aku. Bahkan sampai sekarang aku masih ingat dengan jelas permintaan ayah “Nak, ayah dan ibumu sudah tidak sanggup ngirimin kamu uang lagi. Pulanglah. Hentikan studimu. Di Jakarta ayah kesulitan mencari uang”. Gdubraaak… Andai dibelakangku tidak ada dinding KBU mungkin aku jatuh. Tapi syukurlah aku masih bisa menahan semuanya. Sejak itu aku pun berjuang untuk bisa menyelesaikan studiku tanpa bantuan dari ayah dan ibu. Ups, tidak! Aku masih bantuan dari beliau berdua. Ya aku masih memintanya untuk maaf, bersabar dan berdoa untukku.

Aku meminta maaf kepada orang yang sangat aku sayangi itu karena aku tidak menurutinya untuk berhenti sekolah. Aku akan teruskan sampai lulua. Aku berpikir masa hanya cuma satu tahun lagi saja aku tidak sanggup menyelesaikan studiku. Aku harus bisa. Aku pun meminta beliau berdua bersabar untuk beberapa hal. Pertama, karena aku nggak menurutinya. Kedua, karena kesulitan mencari uang. Ketiga karena anaknya jauh dari rumahnya. Bukankah orang tua sangat khawatir saat anaknya berada jauh dari keduanya. Dan yang terakhir aku meminta keduanya untuk berdoa. Selalu berdoa. Baik untukku yang punya tekad—bukan nekad—untuk menjalani studi tanpa kiriman uang dari beliau, maupun berdoa untuk keluarga semoga keuangan keluarga kembali membaik. Dan berkat sabar, restu dan doa beliau berdua, Alhamdulillah di tahun 2003 (aku juga dapat pelajarn tersenyum dan tertawa bahagia) aku bisa menyelesaikan studiku dengan hampir sempurna. Bahkan aku tak menghiraukan apakah wisuda nanti orang tua datang atau tidak. Aku tak peduli. Namun Allah Maha Mendengar dan Maha Sayang sama hambaNya. Malam sebelum aku di wisuda ayahku tercinta datang dengan pamanku tersayang. Pagi harinya aku menangis dalam pelukan serang ayahku yang sangat aku banggakan. Terima kasih ayah… terima kasih Tuhan… Aku tahu alasan kenapa ibu tidak datang. Kalianpun pasti bisa menebaknya.

Kembali aku terima pelajaran menangis ini di bulan ramadhan tahun 2004. Saat itu aku sudah mengajar di MTs Al-Mu’minien. Ya aku mengabdikan diriku di pesantren yang membantuku menyelesaikan studiku. Ramadhan itu, liburan, aku pulang ke rumah tanggal dua puluh dua. Keesokan harinya, saat aku wiridan usai menunaikan shalat dluhur berjamaah bersama adikku terdengar deru mobil memasuki pelataran rumahku. Aku heran. Aku belum punya mobil kok sudah ada mobil yang datang ke rumahku. Aku pun heran, tak mungkin mbak pulang dari luar negeri tanpa memberi kabar. Usai kututup doaku, aku menyongsong ke sana, dan langkahku berubah menjadi lari saat aku tahu ayahku yang aku banggakan tak sadarkan diri dalam tanduan beberapa pamanku. Dengan tergopoh aku mendahului mereka masuk. Aku siapkan tikar dan kasur. Menggelarnya di ruangan tengah. Ibu menangis tak tertahan. Pertanyaan tak henti-hentinya keluar dari mulut ibu. Adikku diam tak bergerak melihat semuanya terjadi.

Setelah ayah dibaringkan dan semuanya tenang, paman mengatakan “ayahmu jatuh, nak, tepatnya saat ia sedang menggiling bumbu di depan kontrakan. Ia jatuh dan langsung tak sadarkan diri. Aku yang sudah berangkat jualan, disusul oleh pamanmu ini” sambil menunjuk paman keduaku. “akhirnya kita putuskan untuk membawanya pulang” lanjutnya.
Setelah dapat masukan dari berbagai kepala—ada yang melontarkan ide dib aw ke rumah sakit saja, ada juga yang bilang di rawat di rumah saja—aku putuskan untuk mencoba merawatnya di rumah dan dengan bantuan tetangga sekaligus guru agamaku, aku menjemput ustadz Shoim yang katanya sering menangani penyakit seperti ini. Dan ternyata ayahku di vonis kena stroke. Subhanallah… air mataku menangis. Bukan saja sejak dengar vonis itu. Tapi di awal aku tahu ayah sakit tak sadarkan diri.

Di hari ke 34, setelah menjalani berbagai macam terapi dan perawatan dari ust. Shoim, ayahku sudah bisa bangun dan tersenyum lagi. Bahkan ia memintaku anak laki-laki satu-satunya menuntunnya jalan-jalan. Melemaskan kaki, katanya. Dan dengan senang hati aku menuntunnya, menjaganya dan menyuapinya makan saat ia butuh makan. Hari-hari itu adalah hari-hari aku juga mendapatkan pelajaran tersenyum dan tertawa di sela-sela pelajaran menangis. (sobat ternyata di balik setiap sesuatu ada sesuatu yang lain. Percaya dech…)

Dan tepat di hari ke 40 Allah sangat merindukan ayahku tercinta. DipanggilNya ia. Tepat jam 00.30. hari jum’at. Tiga hari sebelumnya ayah terjatuh dan tak sadarkan diri selama itu sampai Allah memanggilnya. Beberapa setelah hembusan nafas terakhir ayah, setelah aku tersadar dari tangis, aku kabari semua orang yang aku kehendaki. Termasuk pengasuh pondok pesantren Al-Mu’minien yang juga aku pinta doanya. Jam 9 pagi jenazah ayah dishalati di masjid samping rumah. Begitu hendak diusung ke pembaringan terakhir kembali aku dikejutkan sebuah mobil bagus berhenti di jalan depan rumahku. Kemenakanku berlarian ke arahku yang sedang mengusung jenazah ayah, “kak ada tamu”. Aku terbengong. Aku berikan usungan itu ke paman yang berada di sampingku. Aku hampiri tam itu. Dan ternyata antara tangis dan tersenyum bahagia aku mengetahui bahwa yang datang adalah kyai. Aku menyalaminya dan mempersilahkan masuk. Namun beliau bilang “kita shalati dulu jenazah ayahmu”. Maka atas komando paman jenazah yang sudah keluar dari masjid kembali masuk dan di shalati oleh beliau dan beberapa teman pengajar PP. Al-Mu’minien. Aku lihat ibu, yang sesenggukan didekati oleh ibu Nyai dan beberapa ustadzah. Aku nggak tahu apa yang beliau bicarakan. (kembali palajaran tawa dan senyum aku dapati di tengah-tengah pelajaran tangis aku terima).

Bahkan kini, banyak sudah pelajaran tangis dan tawa diajarkan padaku hampir secara bersamaan. Aku mensyukurinya. Aku sungguh sangat bersyukur pada Tuhanku, Allah SWT, yang telah dan terus mengajariku berbagai pelajaran yang sangat dan tiada kira harganya. Karenanya aku berniat untuk lebih dekat denganNya. Aku ingin lebih lama berada dalam dekapan kasih sayangNya. Aku ingin tidak jauh dariNya. Monday, November 16, 2009


Related Posts



4 comments:

margono baelh said...

ALHAMDULILLAH AKU MENANGIS DAN TERSENYUM.... AKU TERJATUH DAN TERBANGUN... SEMUA KARNA TUHANKU, TUHAN KITA SEMUA..... AMIN....

Unknown said...

Amien.ya mujibassaielien.

Unknown said...

:-).

Bronik said...

terima kasih sangat saya hadiahkan kepada AGRESFIA XVI
(http://www.blogger.com/profile/05087708366319523977) dan si gadis sukahaji (https://plus.google.com/111776870997139282861/posts). You are let me read this article again. and remembering me my sweatest memory.

Post a Comment

kambing etawa

kambing etawa
kambing gemuk makan fermentasi gedebok

silahkan coba...!!!

Blog Archive

Hidup tak akan memberimu apa-apa kecuali kau memaknai hidup dengan caramu...
 

Express

Seorang kawan yang mendampingi kita pada saat kesulitan lebih baik dari pada seribu
kawan yang mendampingi kita pada saat kebahagiaan.


Berkata benar dapat sangat menyulitkan bahkan beresiko ditolak. Tetapi itulah satu-
satunya pilihan jika kita membangun hubungan yang baik.

Anak lebih membutuhkan bimbingan dan simpati dari pada instruksi.

The Good Father

The Good Father

MoTivE

Bila saat ini kita belum berhasil dan sukses bisa jadi karena kita belum bekerja keras, berfikir cerdas dan beramal dengan benar.


Saat menunda amal sholeh berarti kita sedang menunda kesuksesan dan kebahagian.


Seseorang mulia bukan karena apa yang dimilikinya tapi karena pengorbanannya untuk
memberikan manfaat bagi orang lain.