Tuesday, May 20, 2008

Ini Hafshah De...

Tuesday, May 20, 2008 | 0 comments
Wanita memang diciptakan sesuai dengan sifat dan wataknya. Selain cenderung emosional dan dramatisir juga pecemburu. Dalam tarikh, selain Aisyah, Hafshah dikenal sebagai istri Rasulullah SAW yang pencemburu. Terkadang sering membuat ulah untuk menarik perhatian Rasulullah.

Suatu hari, ketika Rasulullah menemuinya, Hafshah bertanya, “Ya Rasulullah, mengapa mulutmu berbau busuk?”
“Aku baru saja minum madu, bukan maghafir,” jawab Nabi Muhammad SAW penuh tanda tanya.
“Kalau begitu, engkau minum madu yang sudah lama,” kata Hafshah.
Keheranan Rasulullah makin bertambah ketika Aisyah yang ditemuinya mengatakan hal serupa. Saking kesalnya, Rasulullah mengharamkan madu buat dirinya untuk beberapa waktu. Beliau tak tahu kalau Hafshah telah “berkomplot” dengan Aisyah untuk “ngerjain” Rasulullah. Keduanya cemburu lantaran Nabi tinggal lebih lama dari jatah waktunya di rumah Zainab binti Jahsy. Waktu itu Nabi tertahan karena Zainab menawarkan madu kepada beliau.

Membicarakan kehidupan Hafshah binti Umar bin Khattab tak bisa lepas dari sifat pencemburunya. Pada dasarnya, sifatnya itu lahir dari rasa cintanya kepada Rasulullah. Ia merasa takut kalau Rasulullah kurang memperhatikan dirinya. Namun, sifatnya itu melahirkan persoalan yang kurang menyenangkan.

Dikisahkan dalam sebuah perjalanan Nabi Muhammad SAW pernah membawa Hafshah dan Aisyah. Kedua istri Nabi itu duduk di atas punggung unta yang berbeda. Selama perjalanan, Rasulullah lebih sering berada bersama Aisyah. Saat istirahat, Hafshah yang terbakar api cemburu meminta Aisyah berpindah tempat. Seusai istirahat, Rasulullah naik ke unta Aisyah yang sudah ditempati Hafshah dan mengajak bicara. Beliau tak tahu kalau yang menjawabnya dengan jawaban-jawaban pendek itu Hafshah. Dan Rasulullah tersadar bahwa dirinya dipermainkan kedua istrinya.

Begitu seringnya Hafshah membuat ulah, lantaran cemburu, Rasulullah pernah berniat akan menceraikannya. Namun, Jibril datang mencegah Nabi. Rasulullah malah mendatangi anak Umar bin Khattab itu dan berkata, “Ya Hafshah, hari ini Jibril datang kepadaku dan memerintahkan kepadaku “irji’ ilaa Hafshah, fainnaha hiya showwama, qowwama wa hiya azawaajuka fil jannah” (kembalilah kepada Hafshah, sesungguhnya ia wanita yang senAntiasa puasa, mendirikan shalat, dan ia adalah istrimu kelak di surga).

Dialah Hafshah binti Umar, wanita yang mendapat pembelaan Jibril tatkala hendak diceraikan Rasulullah lantaran sifat pencemburunya.
Meski memiliki kelemahan dan kekurangan karena sifatnya itu, tapi Hafshah adalah wanita yang tekun beribadah. Ia rajin puasa sunnah dan tak pernah meninggalkan shalat tahajjud. Maka Jibril pun membelanya, bahkan menyampaikan jaminan Allah bahwa Hafshah termasuk salah satu istri Nabi di surga.

Kecemburuan istri-istrinya, sebenarnya dianggap sebagai sesuatu yang wajar dan manusiawi oleh Rasulullah. Apalagi beliau dikenal orang yang paling sabar dalam menghadapi berbagai persoalan, termasuk ulah istri-istrinya. Namun, yang membuatnya marah adalah jika rasa cemburu itu mendorong istri-istrinya atau dirinya melakukan maksiat kepada Allah. Rasulullah pernah ditegur Allah lantaran mengharamkan madu dan istrinya Maria akibat ulah Hafshah. Rasa cemburu yang seperti inilah yang tidak dibenarkan Rasulullah.

Akibat rasa cemburu yang berlebihan, Hafshah ditegur langsung oleh Allah melalui surat At-Tahrim ayat 3 dan 4. Tapi, putri Umar bin Khattab itu pulalah yang dibela Jibril ketika hendak dicerai oleh Rasulullah karena memiliki kelebihan-kelebihan dalam sisi peribadatannya. Allah SWT berfirman, ”Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang isterinya suatu peristiwa. Maka tatkala menceritakan peristiwa itu dan Allah memberitahukan hal itu kepada Muhammad lalu Muhammad memberitahukan sebagian dan menyembunyikan sebagian yang lain . Maka tatkala memberitahukan pembicaraan lalu bertanya: “Siapakah yang telah memberitahukan hal ini kepadamu?” Nabi menjawab: “Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong ; dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya dan Jibril dan orang-orang mu’min yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula” (QS At-Tahrim[66]: 3-4).

Ya, kelebihan seseorang dalam beribadah akan menolong seseorang dari kehilangan dan mendapat pembelaan yang tak diduga-duga.

read more

TAK SUA

0 comments


Ade, ntah sudah berapa lama kita begini. aku ngerti. bahkan jauh lebih ngerti apa yang ade maksudkan dengan per"pisah"an yang ade pinta ini. aku bisa memahaminya. dan aku ingin menuliskannya sebagai wakil hati dan perasaan ini. Perasaan ini bilang, "ade jahat". perasaan ini curhat, "ade kejam". namun hati mengatakan "tidak! ade tidak jahat". hati juga menyanggah "ade tidak kejam! ini demi kebaikan. kebaikan bersama"

dus, aku pun menjalaninya. menjalani apa yang terjadi. bukankah, walau bagaimanapun hidup terus berlanjut? bukankah, waktu terus berjalan?

aku jalani hari-hari dengan apa yang tersisa. aku bertahan. bertahan dengan semua kenyataan yang aku hadapi. walau, aneh memang, aku sering uring-uringan. aku sering merasa nggak enak.

namun terkadang aku ingin pergi. pergi sekalian dari ade. pergi jauuuuhh. pergi meninggalkan ade. (demi ketenangan hati)?

entahlah...

setelah kita "pisah", aku banyak mengalami sesuatu yang tak menyenangkan. katakanlah, pikiranku eror.

pada saat aku membutuhkan benda yang aku punya dan aku merasa menyimpannya di suatu tempat, aku tidak menemukannya. aku mencarinya kesana-kemari. ditengah pencarian terkadang aku merasa cape. aku merasa aku pikun. aku merasa aku bodoh. aku tolol. lebih-lebih saat aku menemukan barang tersebut setelah tidak aku cari lagi. aku BAHLUL.

pernah suatu rencana aku susun. untuk memudahkanku. biar tak makan tenaga dan waktu banyak. namun yang terjadi justru sebaliknya. aku kehilangan waktu dan menguras tenaga karena ternyata rencana yang aku susun tak berjalan sesuai apa yang aku inginkan. Ah... STUPIDnya AKU.

suatu kali aku mewanti-wanti diriku untuk menghemat uang yang aku punya. aku berusaha sepintar mungkin menabungnya. namun, yang terjadi justru sesuatu yang tidak aku bayangkan. uang itu justru habis, bahkan masih minjam ke teman. bahkan aku merasa masih kurang. Oh... DUNGUnya aku.

COGITO ALLAH SUM!
aku nggak tahu artinya. namun mungkin tokoh utama dalam novel itu bisa mewakiliku. mungkin itu aku! ya! mungkin karena banyak penderitaan yang aku dapatkan dari pada kebahagiaan sebagaimana yang aku tuju. Tapi, satu yang membedakan. aku ber-Tuhan sedangkan dia tidak.

namun apa bedanya ber-Tuhan atau tidak? kalau yang ber-Tuhan tidak menjalankan perintah-perintah Tuhannya. kalau yang ber-Tuhan tidak pernah mendekatkan diri sama Tuhannya.

Sunday, 18 May, 2008 16:45:16

read more

Nggak (belum) jadi, De...

0 comments

Sms. Ya. Sms itu. Sms yang ade pinta supaya aku mengirimkannya kepada dede, sampei sekarang tidak aku kirimkan. Bukan aku mau membantah permintaanmu. Tapi, tidakkah ade pikirkan bagaimana perasaannya kelak ketika ia menerima dan membacanya? Dia yang telah lama tidak aku hiraukan. Dia yang sudah berulang kali aku anggap nggak ada. dia yang tidak kapok-kapoknya menghubungiku walau hanya membuang pulsa tanpa menghasilkan apa-apa. Dia yang selalu mengirim sms tanpa ada balasan yang aku kirim. dan kini dia telah menghentikannya. aku bersyukur karenannya.

Cukuplah kecuekanku yang menyakitinya. cukuplah ego-ku yang membalas budi baiknya. cukuplah kesombonganku yang menghajarnya. cukuplah ke-tega-anku menghempaskannya ke dalam kesakitan dan keniscayaan.

aku nggak mau menambahnya sakit lagi. aku nggak ingin ia bertambah sedih dan merana karena sms ade itu. aku membayangkan apa yang terjadi seandainya ia menerima sms dan mebacanya. aku yakin dia akan patah. bukan patah lagi bahkan tapi hancur berkeping-keping. dia akan merana seumur hidup karena sms itu. bahkan dia akan merasa bersalah tanpa berkesudahan.

ade, maafkan aku yang tidak mengirimkan sms itu.
maafkan aku yang masih mempunyai rasa belas kasihan kepadanya. setidaknya demi menjaga hubunganku dengan keluarganya. setidaknya demi rasa kemanusiaan. setidaknya atas nama persahabatan, aku nggak ingin merusak ikatan ini dengan kakak dan keluarganya.

bukan karena aku sayang sama dia. bukan pula karena aku mencintainya. sama sekali bukan. maafkan aku, de. aku tidak tega melihatnya seandainya dia lebih menderita dari sekarang.

cukuplah dia menderita karena tidak mendapatkan kasih sayangku. cukuplah ia bersedih karena cintanya tak terbalas.


ade... tahukah engkau, sebenarnya sudah lama ia tidak menghubungi aku lagi. jangankan telpon, sms-pun tidak. tapi entah kenapa, saat aku bersama ade--habis bedah buku itu--dia kirim sms. aku nggak menyangka sama sekali. dan tahukah engkau, de? aku tak pernah menganggap sms itu ada.

bila dulu ia mengirim sms akan tetap mengharapkanku. maka biarkan dia terus berharap tanpa ada ujung. biarkan dia terlarut dalam penantiannya. biarkan dia tergenang dalam peliknya cinta. bukankah begitu hidup de?

semoga ade bisa memahami pikiranku ini. semoga tulisan ini bisa mengungkap alasan kenapa aku tidak mengirimkannya (sms itu). semoga ade memakluminya. dan yang terpenting adalaha semoga aku bisa terus bertahan dengan semua masalah hidup ini. semoga...

Sunday, 18 May, 2008 16:44:55

read more

Maafin aku Gus...

0 comments

110508....

hari yang tidak bisa aku lupakan. ini karena hari yang tidak pernah aku bayangkan. telah terjadi suatu hal yang tak pernah aku sangka. hal sepele mungkin, tapi ini sangat special bagiku. (special make telur kali...)

saat santai...
saat aku menikmati hidangan dari anak-anakku...
saat aku mau makan bersama-sama mereka,
saat itulah Rizal, memanggilku. memanggilku disuruh gus fahim. ditunggu di kantor yayasan.

deg... jantungku berdebar. (lho... bukankah memang jantung slalu berdebar?) no...! ini nggak seperti debarannya yang biasa. ini sangat jelas aku rasakan. ini sangat istimewa. sangat beda. sangat lain. ingin tahu apa yang akan terjadi. aku menerka-nerka.

apa berhubungan dengan alamat lengkapku yang kemarin diminta pengurus? apa karena kejadian ampel 4? apa karena rizal? apa karena....

semua kemungkinan berkelebat. bergantian. satu persatu. ada apa gerangan...
ach... datang saja.
ternyata...
aku dipanggil--ditegur--karena aku telah menulis sesuatu yang tidak pantas untuk di-posting di blog-ku. aku diminta merubahnya. aku diminta untuk meng-ekplisitkan-nya. tanpa menyebutkan angka eksak. ya! aku harus merubahnya--setidaknya untuk tidak menghapus posting itu.

maka dengan penuh patuh dan rasa hormat, aku pun merubah tulisan itu. tidak! buka merubah tapi menghapusnya (satu kalimat penuh) karena memang aku merasa substansinya sudah tak diperlukan lagi.

"maafin saya, Gus"
"maafin keteledoran saya. sungguh tak ada niatan secuilpun untuk membukanya di depan umum. aku hanya menulis apa yang kurasa. itu saja. tidak lebih. aku hanya menulis apa yang aku anggap perlu diketahui oleh Mbak (yayu-ku) di luar sana. maafin saya, sekali lagi, aku pinta maaf antum."
###

Di sisi lain, aku memikirkan semua tulisanku. Beliau pasti membacanya. tapi tak apa. itu memang isi hatiku. itu adalah apa yang terjadi padaku. seorang remaja yang.....
ngawur...
urakan...
nakal...
bandel...
pengen slalu bebas...
tak bisa diatur...
kreatif...
penuh gejolak...
pengen ada inovasi...
selalu suka hal yang beda...
nggak mau ngekor...
selalu mempertanyakan hal yang dah lazim...

tapi,
insya Allah, bertanggung jawab
dan
mau diajak diskusi.

sekali lagi maafin atas keteledoran yang tak sengaja aku perbuat ya gus...

read more

Monday, May 19, 2008

Kuliah...

Monday, May 19, 2008 | 0 comments


Kenapa tiap kali aku mendengar kata itu atau kata yang ada kaitannya dengannya aku merasa jengkel, marah, cemburu, dongkol, bahkan ingin sekali aku tidak mendengarnya.

Kenapa kuliah harus diutamakan? Kenapa kuliah yang menjadi ukuran gengsi atau tidaknya seseorang? Apa gerangan yang mengakibatkan kuliah dipandang sebagai bentuk kehormatan seseorang? Ada apa dibalik semuanya yang selalu memakai kuliah sebagai bentuk sukses atau tidaknya seseorang?

Salahkah bila aku tidak kuliah? Salahkah bila aku, yang tidak mempunyai biaya ini tidak mengambil jalan yang sama dengan yang lain untuk kuliah? Salahkan bila kuambil keputusan untuk lebih memilih hal lain dari pada kuliah?

Ini bukan tanpa alasan. Bukan juga sebuah pilihan asal pilih. Jujur, di balik kedalaman hati, diri ini sangat berminat untuk aktif kuliah. Namun bila aku, karena sebuah realitas, tidak kuliah, apa aku salah? Kalau emang iya, maka merugilah aku... Sengsaralah diri ini...

Inilah sebuah liku hidup yang harus aku ambil dan nikmati. Aku lahir dari sebuah keluarga yang tidak kenal baik dengan pendidikan. Ayahku hanya lolosan kelas 3 SR. Ibuku lebih parah, beliau wanita yang aku kagumi dan aku sayangi ternyata tidak pernah mengenyam bangku sekolah. Karenanya jangan salahkan beliau kalau kamu sms atau kirim surat tidak menerima balasa darinya. Karena emang beliau tidak bisa baca tulis. (Lalu apakah ia dikatakan Ummi? Sebagaimana Rasulullah yang tidak bisa baca tulis dikatakan Ummi)

Syukurlah keadaan ekonomi keluargaku membaik saat ayahku masih kuat bekerja walau jadi buruh tani. Beliau atas bujukan dan desakan adik keduanya, Mang Hakam, menyekolahkan anak pertamanya ke sebuah pesantren. Sebuah harapan supaya berbeda dengan kedua orang tuanya. Begitu pula dengan aku. Usai lulus SD aku diboyong pamanku ke pesantren. Dari sanalah cahaya tarbiyahku hidup. Aku mulai mengenal "buku" dan sedikit "tulisan" walau masih terbatas. Di sana juga aku kenal dengan Hasan Al Banna, Moh. Abduh, M. Ikbal dan lain-lain yang dari mereka aku ketularan semangat jihadnya. Akupun bertekad untuk terus berjuang di dunia pendidikan. Belajar dan (belum) mengajar.

Usai menamatkan SLTPku, kucoba meniti asa di sebuah pesantren modern di daerah seberang. Di tahun terakhir aku menyelesaikan studyku, rintangan makin jelas menghadang. Ayah dan ibuku meminta aku berhenti sekolah dikarenakan beliau berdua sudah tidak sanggup membiayaiku. SLTAku pun terancam gagal. Namun berbekal tekad yang kuat aku berusaha sebisa mungkin untuk menyelesaijan SLTAku yang tinggal satu tahun lagi.

Akhirnya dengan bantuan seorang Kyai di daerahku, aku bisa mendapat kesempatan menamatkan SLTAku. Dan untuk menutupi kebutuhan belajarku aku banting setir menjadi bagian dapur yang sering dilecehkan oleh adik-adik kelas ketimbang posisi lamaku di bagian pembinaan bahasa yang super keren. Nggak apa-apa. Demi keselamatan belajarku.

Saat aku mau masuk bangku kuliah, Allaah memanggil ayah tercintaku, secara otomatis aku harus menggantikan beliau di dalam keluargaku. Akupun mencoba untuk tegar dan kuat menjalaninya. Setidaknya aku punya satu tanggung jawab yakni menyekolahkan adikku tercinta.

Saat itu pula adikku lulus SD dan meminta untuk masuk ke pesantren. Namun mengingat aku belum bisa, maka aku janjikan setelah lulus SMP ia bisa belajar di pesantren. Dengan besar hati ia pun menjalani hari-hari SMPnya di desa. Sekolah baru saja berdiri dengan segala kekurangannya. Saat itu pula aku bisa mendaftarkan diri kuliah di sebuah perguruan tinggi yang tak terkenal. Namun tak mengapa. Aku mencari ilmunya. Bukan namanya.

Kini saat adikku lulus SMP dan aku sudah dalam tingkat 3, aku juga harus memondokkannya, sebagaimana janjiku dulu. Secara otomatis aku harus mengalokasikan budget yang ada untuk sekolah adikku. Ini prioritas pertama. Aku pikir, lebih baik, sekali lagi ini menurutku, lebih baik kuliahku yang terhenti dari pada sekolah adikku.

Dan untuk itu aku harus bisa membagi waktuku dalam ke beberapa hal. Yakni pertama, menjalankan tugas-tugas pondok yang (seandainya jadi) telah memberi keringanan biaya pendidikan adikku. Karena aku tidak mau dikatakan orang yang tahu balas budi. Kedua, aku pikir, untuk bisa terus melanjutkan kuliah aku harus mencari tambahan pemasukan. Karenanya aku memutuskan untuk melamar jadi pengajar di salah satu lembaga terdekat. Jadi aku harus punya waktu untuk mengajar di sana. Ketiga, karena tugas pondok dan mengajar yang aku prioritaskan maka tak apalah kuliahku tidak mengambil 24 sks penuh. Kemungkinan cuma mengambil 12 sks-an. Kuliah dua hari. Supaya aku punya waktu untuk menjalankan tanggung jawab pondok dan tugas mengajarku. Keempat, aku nggak terlalu memedulikan yang ini. Tapi terkadang memang sangat menjadi pikiranku. Setidaknya aku cepat memilikinya sepenuhnya. Menikahinya. Tapi... Mungkinkah? Padahal di saat yang sama aku belum lulus kuliah, punya tanggungan adik, harus balas budi, dan juga belum punya pegangan.

Aaauhhhh... pusingnya.. Tapi tak apa. Bukankah hidup tak indah bila tak ada masalah? Bukankah semua menjalani hari dengan cara masing-masing?

Semoga aku menjalani hariku dengan cara yang terbaik. Cara yang penuh barokah. Cara yang diridloi-Nya. Amien... Ya Robbal Alamien...

read more

Wednesday, May 14, 2008

Malam 3.33

Wednesday, May 14, 2008 | 0 comments
Yayu...
Di sini, di kantor mim ini, jam 3.33 tepat tanggal 2 bulan 5 tahun 08, willy menulis ini semua.

Semuanya willy rasakan begitu sulit. Namun wily yakin sesuatu yang sulit bukanlah sesuatu yang tidak bisa dikerjakan. Willy yakin akan mampu melaluinya. Toh walau terkadang willy juga bingung dan pusing memikirkannya.
Willy nggak tahu, apakah yayu sudah tahu atau belum wily cuti kuliah. Padahal ini bukan kehendak yang menyenangkan buatku. Aku harus bersedih karenanya. Namun sebagai kakak yang punya adik satu-satunya—walaupun iin juga sudah aku anggap sebagai adik sendiri—aku harus menyekolahkan adikku, Zuhriyatul Jannah.

Yayu…
Iyah sudah sejak lulus SD punya keinginan untuk mondok. Namun ia anak yang baik, ia tahan semuanya setelah kepergian ayah. Aku sedih jadinya. Awalnya aku ingin ia tetap mondok setelah selesai SD walau aku nggak yakin dengan biayanya, tapi ibu memintanya untuk menemaninya dulu di rumah sepeninggal ayah. Ibu bilang, nanti saja mondoknya kalau sudah lulus SMP.

Dan sekarang, ia akan lulus SMP dan aku sudah siap memperjuangkannya mondok, walau aku korbankan kuliahku, ibu masih meng”ganduli”nya. Ibu masih keberatan ditinggal sendirian di rumah. Ntar ibu nggak ada temannya di rumah,begitu ibu berkata.
Aku nggak paham alur pikiran ibu yang demikian. Seakan ia berpikir untuk dirinya sendiri di rumah. Seakan ia nggak memikirkan masa depan anak-anaknya.
Willy berpikiran dengan sekolah atau setidaknya merantau, kita akan punya bekal untuk hidup di masa depan. Bukankah dengan “keluar dari desa” akan membuat kita kaya akan pengalaman, akan lebih dewasa, akan mengetahui banyak hal yang tidak pernah kita bayangkan, akan mendapatkan apa yang kita tinggalkan di desa. Aku ingat pepatah Imam syafi’i “safir tajid ‘iwadlon amman tufariquhu”.

Aku nggak ngerti pikiran ibu yang menahan Iyah untuk tidak mondok atau sekolah. Padahal willy sudah bilang biarlah willy yang akan membiayainya melanjutkan sekolah. ibu nggak usah cemas. (padahal dalam hati aku berkata, aku bisa nggak yach mencari uang untuk membiayai kuliahku dan biaya mondok iyah).

Aku meyakinkan ibu untuk tidak usah memikirkan biaya iyah kalau Iyah aku bawa ke Malang. Tapi ibu keberatan. Karena, katanya Malang terlalau jauh, nanti ibu nggak bisa nengok.
Karenanya aku beri alternative lain, yaitu mondok dan sekolahnya di AL-MU’MINIEN LOHBENER saja. Tempat aku ngajar dulu. Willy sudah menghubungi Kyai, dan alhamdulillah respon beliau sangat menggembirakan, karena beliau akan membantu meringankan beban willy.
Tapi kenapa sekarang ibu berubah pikiran lagi? Kemarin saat willy telpon, ibu bilang kayaknya ibu nggak sanggup ditinggal Iyah. Ya, walaupun iyah tidak banyak membantu ibu di rumah tapi, ibu di rumah nggak ada temannya. Siapa yang nanti disuruh ke warung beli cabe? Siapa yang nanti disuruh ke Cipedang beli caos? Siapa yang nanti menaiki motornya? Siapa yang nanti nyuci piring kalau ibu cape? Begitu ibu mengeluhkan.

Apakah semua itu tidak ibu pikirkan sambil membandingkannya dengan masa depan Iyah? Masa depan seorang remaja di zaman yang seperi ini? Masa depan yang hanya bisa tercerahkan dengan sekolah.

Aduh…. Willy jadi pusing dan bingung dibuatnya Yu…

Terus, apakah willy harus pulang, menemani ibu di rumah? Dengan meninggalkan kuliah willy di Malang? Dengan meninggalkan pondok ini yang memberi willy uang 600 ribu lebih tiap bulannya yang bisa buat biaya kuliah willy dan sekolah Iyah? kembali ke rumah dengan nggat tahu akan bekerja apa di sana? Dapat uang dari mana? Bukankah willy nggak punya tenaga yang cukup kalau kerja di sawah? Bukankah di rumah willy nggak bisa ngajar kalau nggak bergelar sarjana?

Atau…

Apa willy lebih baik menentang ibu, dengan mengabaikan keadaan dan permintaan ibu?
Willy bawa iyah ke Malang tanpa memperdulikan perasaan ibu? Bukankah di Malang, Iyah bisa sekolah gratis? Bukankah keluarga Kyai di Malang bisa memberi dispensasi biaya mondok?
Atau dengan tetap memondokkan Iyah di Lohbener saja?
Atau membiarkan Iyah di rumah? Nggak sekolah. bergaul dengan anak-anak yang seperti itu? Membiarkan tiap pemuda datang ke rumah, main tiap malam?
Atau mencarikan Iyah kerja? Tapi dengan ijazah SMP, kerja apa? Jadi babu? Jadi TKW?
TIDAK… aku tidak rela dan ikhlas seandainya Iyah nggak sampai melanjutkan sekolah apalagi jadi babu atau TKW! Lebih baik, aku saja yang tidak kuliah. Lebih baik aku yang bekerja!

Pernah wily mencoba memahami ibu dengan memposisikan diri ini di posisi beliau. Seorang ibu yang ditinggal suaminya. Gelar janda yang didapatnya. Omongan tetangga yang didengarnya. Belum yang memanas-manasinya supaya iyah kerja di Taiwan atau Hongkong. Belum ditinggal anak-anaknya. Anak yang pertama ke luar negeri. Kerja. Anak ke dua ke Malang. Ngajar dan kuliah. Dan sekarang anak ke tiga mau pergi lagi. Mau melanjutkan sekolah. Anak pertama keluarganya berantakan. Sakit hati terus kalau memikirkannya. Anak kedua merantau terus. Nggak pulang-pulang sejak lulus SD. Kalaupun pulang cuma hanya sebentar. Paling lama 1 minggu. Anak ketiga, walau pun malas, tidak banyak membantu pekerjaan ibu di rumah, kini berniat meninggalkan rumah, mondok.
Willy kira, ibu tidak akan terbawa emosi yang feminimnya seandainya beliau berwawasan luas. Berpikiran maju. Beriman kuat. Dan berjiwa lillahi ta’ala.
Subhanallah… maafin willy, Bu… maafkan anakmu yang lancang berpikiran demikian. Maafkan anakmu ini yang nggak tahu harus berbuat gimana?

Ya Allah…
Berilah kami petunjukMu… Mudahkanlah kami dalam menjalani masalah-masalah ini. Mudahkanlah kami dalam menjalani cobaan-cobaan ini? Rahmatillah kami dalam mencari ridloMu ya Allah…
Kami memohon kehadiratMu ya Allah untuk memudahkan segala urusan-urusan ini demi menggapai ridloMu ya Allah…

read more

Saturday, May 10, 2008

UAN: antara ijazah dan ilmu

Saturday, May 10, 2008 | 0 comments


Ijazah…

Belajar itu wajib. Tak bisa kita sangkal lagi. Namun pernahkah kita pikirkan, kenapa kita nggak mau mengulang pelajaran yang dapat nilai buruk? Atau lebih jelasnya, kita nggak mau mengulang di kelas yang sama di tahun yang berbeda hanya karena kita belum mengusai materi yang kita pelajari itu?

Banyak yang protes dan demo saat tidak lulus UAN. Bahkan ada yang mengancam akan membunuh kepala sekolah atau guru yang tidak meluluskan muridnya. Padahal murid tersebut memang benar-benar tidak pantas untuk lulus karena jangankan bisa menjawab semua, seperempat dari 50 soal saja tidak ada yang benar. Intinya murid tersebut memang belum menguasai materi yang diajarkan. Manakah yang pantas : meluluskan murid tersebut atau diberinya kesempatan untuk belajar lagi supaya saat ujian tahun depan ia bisa menguasai materinya?

Namun bila kita telaah, kenapa mereka yang tidak lulus UAN berdemo, secara naluri kita memang memakluminya. Bayangkan betapa sait dan kecewanya hati, setelah 3 tahun belajar mati-matian—bukan mati beneran lho ya—namun itu terbuang sia-siang hanya karena tidak bisa menjawab 3 atau 4 lembar soal. Adilkah itu? Padahal selama 3 tahun kurang lebih, sudah masuk kelas dan membayar uang spp. Belum lagi uang jajan dan transport bagi yang sekolahnya jauh dari rumah. Lalu apakah perjuangan selama 3 tahun itu hilang terhapus sia-sia hanya dengan 3 hari.

Bukankah ijazah itu juga penting buat kehidupan kita. Tanpa kita mengenyampingkan ilmu yang juga sangat penting. Tanpa ijazah, seorang guru tak kan pernah diakui jadi guru. Begitu pula, seorang murid tak kan diakui menjadi murid kalau tidak ada ijazah. Bukankah ini penting. Terlebih lagi, akhir-akhir ini sertifikasi digaungkan jauh lebih membahana yang secara otomatis mendobrak betapa pentingnya satu lembar bukti kelulusan itu. Secara formula kita bisa merumuskannya sebagai berikut : ilmu itu isi dan labelnya adalah ijazah.

Mengenai adakah sekolah para nabi itu? Dan adakah ijazahnya? Kita bisa mencoba mencari jawabnya dari sejarah para nabi. Bukankah sejarah itu guru terbaik yang diciptakan Tuhan.

Nabi Muhammad, di masa kecilnya beliau menggembala kambing orang-orang kaya quraisy. Begitu pula nabi musa, sebelum diangkat menjadi nabi, beliau menggembala kambing nabi ya’kub yang jumlahnya ratusan dalam jangak 8 tahun lebih sebagai mahar pernikahan dengan putri beliau. Nabi Ismail dan ayahandanya, Nabi Ibrahim juga tak terlepas dari kambing-kambing yang beliau berdua pelihara. Kenapa demikian? Kenapa para nabi menggembala kambing? Hal ini sebagai latihan untuk memimpin umatnya. Di sanalah para nabi di sekolahlan. Di sanalah para nabi mendapat ilmu—selain juga dari wahyu—bagaimana memimpin dan menjada umatnya. Bukankah di padang pasir dan padang rumput banyak srigala dan hyena yang bisa sewaktu-waktu menerkam gembalanya? Di sinilah latihan menjaga umatnya dari bahaya. Bukankah di padang pasir dan padang rumput juga membingungkan bagi orang yang belum berpengalaman? Dari sinilah para nabi diajari bagaimana mengarahkan gemabalanya ke arah yang benar. Baik saat berangkat maupun saat pulang. Adapun mengenai ijazahnya, adalah pengakuan dan wahyu yang beliau-beliau terima dari Allah itulah yang bisa dikatakan ijazah.

Bukankah ijazah diberikan setelah sang murid berhasil mengkhatamkan dan menguasai pelajarannya? Dan bukankah wahyu diturunkan setelah para nabi berhasil menyerap berbagai macam ilmu dari menggembala?
Itulah sekolah para nabi. Sekolah alam. Sekolah murni untuk mendapatkan ilmu yang murni pula.

Kalau memang kita mengejar ilmunya bukan ijazahnya, kenapa kita tidak memanfaatkan waktu yang ada untuk belajar dengan sungguh-sungguh? Kenapa kita belajar saat ujian saja? Itupun ujian sekolah umum (SD/SMP/SMA) saja yang ada ijazahnya? Bahkan kita menganggap remeh ujian MIM. Bandingkan dengan ujian SD/SMP/SMA yang disertai dengan shalat hajat, wiridan dan meminta doa kepada setiap element ma’had. Kenapa? Apakah karena MIM itu—yang di dalamnya terdiri dari berbagau macam ilmu agama—nggak penting? Bukankah Allah bilang “Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat”?

Lalu bagaimana dengan niat Anda mencari ilmu? Apakah sebenarnya yang dicari? Ilmu atau ijazah? Atau mencari ilmu karena ijazah? Bukan mencari ilmu karna Allah (lillahi ta’ala). Kalau begitu sungguh Anda akan menjadi orang yang merugi. Bukankah tanpa diniati dapat ijazahpun kalau kita bener-bener belajar karena ilmunya nanti kita juga akan mendapatkan ijazahnya? So, what are you looking for now?

read more

kambing etawa

kambing etawa
kambing gemuk makan fermentasi gedebok

silahkan coba...!!!

Blog Archive

Hidup tak akan memberimu apa-apa kecuali kau memaknai hidup dengan caramu...
 

Express

Seorang kawan yang mendampingi kita pada saat kesulitan lebih baik dari pada seribu
kawan yang mendampingi kita pada saat kebahagiaan.


Berkata benar dapat sangat menyulitkan bahkan beresiko ditolak. Tetapi itulah satu-
satunya pilihan jika kita membangun hubungan yang baik.

Anak lebih membutuhkan bimbingan dan simpati dari pada instruksi.

The Good Father

The Good Father

MoTivE

Bila saat ini kita belum berhasil dan sukses bisa jadi karena kita belum bekerja keras, berfikir cerdas dan beramal dengan benar.


Saat menunda amal sholeh berarti kita sedang menunda kesuksesan dan kebahagian.


Seseorang mulia bukan karena apa yang dimilikinya tapi karena pengorbanannya untuk
memberikan manfaat bagi orang lain.