Monday, May 19, 2008

Kuliah...

Monday, May 19, 2008 | 0 comments


Kenapa tiap kali aku mendengar kata itu atau kata yang ada kaitannya dengannya aku merasa jengkel, marah, cemburu, dongkol, bahkan ingin sekali aku tidak mendengarnya.

Kenapa kuliah harus diutamakan? Kenapa kuliah yang menjadi ukuran gengsi atau tidaknya seseorang? Apa gerangan yang mengakibatkan kuliah dipandang sebagai bentuk kehormatan seseorang? Ada apa dibalik semuanya yang selalu memakai kuliah sebagai bentuk sukses atau tidaknya seseorang?

Salahkah bila aku tidak kuliah? Salahkah bila aku, yang tidak mempunyai biaya ini tidak mengambil jalan yang sama dengan yang lain untuk kuliah? Salahkan bila kuambil keputusan untuk lebih memilih hal lain dari pada kuliah?

Ini bukan tanpa alasan. Bukan juga sebuah pilihan asal pilih. Jujur, di balik kedalaman hati, diri ini sangat berminat untuk aktif kuliah. Namun bila aku, karena sebuah realitas, tidak kuliah, apa aku salah? Kalau emang iya, maka merugilah aku... Sengsaralah diri ini...

Inilah sebuah liku hidup yang harus aku ambil dan nikmati. Aku lahir dari sebuah keluarga yang tidak kenal baik dengan pendidikan. Ayahku hanya lolosan kelas 3 SR. Ibuku lebih parah, beliau wanita yang aku kagumi dan aku sayangi ternyata tidak pernah mengenyam bangku sekolah. Karenanya jangan salahkan beliau kalau kamu sms atau kirim surat tidak menerima balasa darinya. Karena emang beliau tidak bisa baca tulis. (Lalu apakah ia dikatakan Ummi? Sebagaimana Rasulullah yang tidak bisa baca tulis dikatakan Ummi)

Syukurlah keadaan ekonomi keluargaku membaik saat ayahku masih kuat bekerja walau jadi buruh tani. Beliau atas bujukan dan desakan adik keduanya, Mang Hakam, menyekolahkan anak pertamanya ke sebuah pesantren. Sebuah harapan supaya berbeda dengan kedua orang tuanya. Begitu pula dengan aku. Usai lulus SD aku diboyong pamanku ke pesantren. Dari sanalah cahaya tarbiyahku hidup. Aku mulai mengenal "buku" dan sedikit "tulisan" walau masih terbatas. Di sana juga aku kenal dengan Hasan Al Banna, Moh. Abduh, M. Ikbal dan lain-lain yang dari mereka aku ketularan semangat jihadnya. Akupun bertekad untuk terus berjuang di dunia pendidikan. Belajar dan (belum) mengajar.

Usai menamatkan SLTPku, kucoba meniti asa di sebuah pesantren modern di daerah seberang. Di tahun terakhir aku menyelesaikan studyku, rintangan makin jelas menghadang. Ayah dan ibuku meminta aku berhenti sekolah dikarenakan beliau berdua sudah tidak sanggup membiayaiku. SLTAku pun terancam gagal. Namun berbekal tekad yang kuat aku berusaha sebisa mungkin untuk menyelesaijan SLTAku yang tinggal satu tahun lagi.

Akhirnya dengan bantuan seorang Kyai di daerahku, aku bisa mendapat kesempatan menamatkan SLTAku. Dan untuk menutupi kebutuhan belajarku aku banting setir menjadi bagian dapur yang sering dilecehkan oleh adik-adik kelas ketimbang posisi lamaku di bagian pembinaan bahasa yang super keren. Nggak apa-apa. Demi keselamatan belajarku.

Saat aku mau masuk bangku kuliah, Allaah memanggil ayah tercintaku, secara otomatis aku harus menggantikan beliau di dalam keluargaku. Akupun mencoba untuk tegar dan kuat menjalaninya. Setidaknya aku punya satu tanggung jawab yakni menyekolahkan adikku tercinta.

Saat itu pula adikku lulus SD dan meminta untuk masuk ke pesantren. Namun mengingat aku belum bisa, maka aku janjikan setelah lulus SMP ia bisa belajar di pesantren. Dengan besar hati ia pun menjalani hari-hari SMPnya di desa. Sekolah baru saja berdiri dengan segala kekurangannya. Saat itu pula aku bisa mendaftarkan diri kuliah di sebuah perguruan tinggi yang tak terkenal. Namun tak mengapa. Aku mencari ilmunya. Bukan namanya.

Kini saat adikku lulus SMP dan aku sudah dalam tingkat 3, aku juga harus memondokkannya, sebagaimana janjiku dulu. Secara otomatis aku harus mengalokasikan budget yang ada untuk sekolah adikku. Ini prioritas pertama. Aku pikir, lebih baik, sekali lagi ini menurutku, lebih baik kuliahku yang terhenti dari pada sekolah adikku.

Dan untuk itu aku harus bisa membagi waktuku dalam ke beberapa hal. Yakni pertama, menjalankan tugas-tugas pondok yang (seandainya jadi) telah memberi keringanan biaya pendidikan adikku. Karena aku tidak mau dikatakan orang yang tahu balas budi. Kedua, aku pikir, untuk bisa terus melanjutkan kuliah aku harus mencari tambahan pemasukan. Karenanya aku memutuskan untuk melamar jadi pengajar di salah satu lembaga terdekat. Jadi aku harus punya waktu untuk mengajar di sana. Ketiga, karena tugas pondok dan mengajar yang aku prioritaskan maka tak apalah kuliahku tidak mengambil 24 sks penuh. Kemungkinan cuma mengambil 12 sks-an. Kuliah dua hari. Supaya aku punya waktu untuk menjalankan tanggung jawab pondok dan tugas mengajarku. Keempat, aku nggak terlalu memedulikan yang ini. Tapi terkadang memang sangat menjadi pikiranku. Setidaknya aku cepat memilikinya sepenuhnya. Menikahinya. Tapi... Mungkinkah? Padahal di saat yang sama aku belum lulus kuliah, punya tanggungan adik, harus balas budi, dan juga belum punya pegangan.

Aaauhhhh... pusingnya.. Tapi tak apa. Bukankah hidup tak indah bila tak ada masalah? Bukankah semua menjalani hari dengan cara masing-masing?

Semoga aku menjalani hariku dengan cara yang terbaik. Cara yang penuh barokah. Cara yang diridloi-Nya. Amien... Ya Robbal Alamien...

read more

kambing etawa

kambing etawa
kambing gemuk makan fermentasi gedebok

silahkan coba...!!!

Blog Archive

Hidup tak akan memberimu apa-apa kecuali kau memaknai hidup dengan caramu...
 

Express

Seorang kawan yang mendampingi kita pada saat kesulitan lebih baik dari pada seribu
kawan yang mendampingi kita pada saat kebahagiaan.


Berkata benar dapat sangat menyulitkan bahkan beresiko ditolak. Tetapi itulah satu-
satunya pilihan jika kita membangun hubungan yang baik.

Anak lebih membutuhkan bimbingan dan simpati dari pada instruksi.

The Good Father

The Good Father

MoTivE

Bila saat ini kita belum berhasil dan sukses bisa jadi karena kita belum bekerja keras, berfikir cerdas dan beramal dengan benar.


Saat menunda amal sholeh berarti kita sedang menunda kesuksesan dan kebahagian.


Seseorang mulia bukan karena apa yang dimilikinya tapi karena pengorbanannya untuk
memberikan manfaat bagi orang lain.