Wednesday, May 14, 2008

Malam 3.33

Wednesday, May 14, 2008 | 0 comments
Yayu...
Di sini, di kantor mim ini, jam 3.33 tepat tanggal 2 bulan 5 tahun 08, willy menulis ini semua.

Semuanya willy rasakan begitu sulit. Namun wily yakin sesuatu yang sulit bukanlah sesuatu yang tidak bisa dikerjakan. Willy yakin akan mampu melaluinya. Toh walau terkadang willy juga bingung dan pusing memikirkannya.
Willy nggak tahu, apakah yayu sudah tahu atau belum wily cuti kuliah. Padahal ini bukan kehendak yang menyenangkan buatku. Aku harus bersedih karenanya. Namun sebagai kakak yang punya adik satu-satunya—walaupun iin juga sudah aku anggap sebagai adik sendiri—aku harus menyekolahkan adikku, Zuhriyatul Jannah.

Yayu…
Iyah sudah sejak lulus SD punya keinginan untuk mondok. Namun ia anak yang baik, ia tahan semuanya setelah kepergian ayah. Aku sedih jadinya. Awalnya aku ingin ia tetap mondok setelah selesai SD walau aku nggak yakin dengan biayanya, tapi ibu memintanya untuk menemaninya dulu di rumah sepeninggal ayah. Ibu bilang, nanti saja mondoknya kalau sudah lulus SMP.

Dan sekarang, ia akan lulus SMP dan aku sudah siap memperjuangkannya mondok, walau aku korbankan kuliahku, ibu masih meng”ganduli”nya. Ibu masih keberatan ditinggal sendirian di rumah. Ntar ibu nggak ada temannya di rumah,begitu ibu berkata.
Aku nggak paham alur pikiran ibu yang demikian. Seakan ia berpikir untuk dirinya sendiri di rumah. Seakan ia nggak memikirkan masa depan anak-anaknya.
Willy berpikiran dengan sekolah atau setidaknya merantau, kita akan punya bekal untuk hidup di masa depan. Bukankah dengan “keluar dari desa” akan membuat kita kaya akan pengalaman, akan lebih dewasa, akan mengetahui banyak hal yang tidak pernah kita bayangkan, akan mendapatkan apa yang kita tinggalkan di desa. Aku ingat pepatah Imam syafi’i “safir tajid ‘iwadlon amman tufariquhu”.

Aku nggak ngerti pikiran ibu yang menahan Iyah untuk tidak mondok atau sekolah. Padahal willy sudah bilang biarlah willy yang akan membiayainya melanjutkan sekolah. ibu nggak usah cemas. (padahal dalam hati aku berkata, aku bisa nggak yach mencari uang untuk membiayai kuliahku dan biaya mondok iyah).

Aku meyakinkan ibu untuk tidak usah memikirkan biaya iyah kalau Iyah aku bawa ke Malang. Tapi ibu keberatan. Karena, katanya Malang terlalau jauh, nanti ibu nggak bisa nengok.
Karenanya aku beri alternative lain, yaitu mondok dan sekolahnya di AL-MU’MINIEN LOHBENER saja. Tempat aku ngajar dulu. Willy sudah menghubungi Kyai, dan alhamdulillah respon beliau sangat menggembirakan, karena beliau akan membantu meringankan beban willy.
Tapi kenapa sekarang ibu berubah pikiran lagi? Kemarin saat willy telpon, ibu bilang kayaknya ibu nggak sanggup ditinggal Iyah. Ya, walaupun iyah tidak banyak membantu ibu di rumah tapi, ibu di rumah nggak ada temannya. Siapa yang nanti disuruh ke warung beli cabe? Siapa yang nanti disuruh ke Cipedang beli caos? Siapa yang nanti menaiki motornya? Siapa yang nanti nyuci piring kalau ibu cape? Begitu ibu mengeluhkan.

Apakah semua itu tidak ibu pikirkan sambil membandingkannya dengan masa depan Iyah? Masa depan seorang remaja di zaman yang seperi ini? Masa depan yang hanya bisa tercerahkan dengan sekolah.

Aduh…. Willy jadi pusing dan bingung dibuatnya Yu…

Terus, apakah willy harus pulang, menemani ibu di rumah? Dengan meninggalkan kuliah willy di Malang? Dengan meninggalkan pondok ini yang memberi willy uang 600 ribu lebih tiap bulannya yang bisa buat biaya kuliah willy dan sekolah Iyah? kembali ke rumah dengan nggat tahu akan bekerja apa di sana? Dapat uang dari mana? Bukankah willy nggak punya tenaga yang cukup kalau kerja di sawah? Bukankah di rumah willy nggak bisa ngajar kalau nggak bergelar sarjana?

Atau…

Apa willy lebih baik menentang ibu, dengan mengabaikan keadaan dan permintaan ibu?
Willy bawa iyah ke Malang tanpa memperdulikan perasaan ibu? Bukankah di Malang, Iyah bisa sekolah gratis? Bukankah keluarga Kyai di Malang bisa memberi dispensasi biaya mondok?
Atau dengan tetap memondokkan Iyah di Lohbener saja?
Atau membiarkan Iyah di rumah? Nggak sekolah. bergaul dengan anak-anak yang seperti itu? Membiarkan tiap pemuda datang ke rumah, main tiap malam?
Atau mencarikan Iyah kerja? Tapi dengan ijazah SMP, kerja apa? Jadi babu? Jadi TKW?
TIDAK… aku tidak rela dan ikhlas seandainya Iyah nggak sampai melanjutkan sekolah apalagi jadi babu atau TKW! Lebih baik, aku saja yang tidak kuliah. Lebih baik aku yang bekerja!

Pernah wily mencoba memahami ibu dengan memposisikan diri ini di posisi beliau. Seorang ibu yang ditinggal suaminya. Gelar janda yang didapatnya. Omongan tetangga yang didengarnya. Belum yang memanas-manasinya supaya iyah kerja di Taiwan atau Hongkong. Belum ditinggal anak-anaknya. Anak yang pertama ke luar negeri. Kerja. Anak ke dua ke Malang. Ngajar dan kuliah. Dan sekarang anak ke tiga mau pergi lagi. Mau melanjutkan sekolah. Anak pertama keluarganya berantakan. Sakit hati terus kalau memikirkannya. Anak kedua merantau terus. Nggak pulang-pulang sejak lulus SD. Kalaupun pulang cuma hanya sebentar. Paling lama 1 minggu. Anak ketiga, walau pun malas, tidak banyak membantu pekerjaan ibu di rumah, kini berniat meninggalkan rumah, mondok.
Willy kira, ibu tidak akan terbawa emosi yang feminimnya seandainya beliau berwawasan luas. Berpikiran maju. Beriman kuat. Dan berjiwa lillahi ta’ala.
Subhanallah… maafin willy, Bu… maafkan anakmu yang lancang berpikiran demikian. Maafkan anakmu ini yang nggak tahu harus berbuat gimana?

Ya Allah…
Berilah kami petunjukMu… Mudahkanlah kami dalam menjalani masalah-masalah ini. Mudahkanlah kami dalam menjalani cobaan-cobaan ini? Rahmatillah kami dalam mencari ridloMu ya Allah…
Kami memohon kehadiratMu ya Allah untuk memudahkan segala urusan-urusan ini demi menggapai ridloMu ya Allah…

read more

kambing etawa

kambing etawa
kambing gemuk makan fermentasi gedebok

silahkan coba...!!!

Blog Archive

Hidup tak akan memberimu apa-apa kecuali kau memaknai hidup dengan caramu...
 

Express

Seorang kawan yang mendampingi kita pada saat kesulitan lebih baik dari pada seribu
kawan yang mendampingi kita pada saat kebahagiaan.


Berkata benar dapat sangat menyulitkan bahkan beresiko ditolak. Tetapi itulah satu-
satunya pilihan jika kita membangun hubungan yang baik.

Anak lebih membutuhkan bimbingan dan simpati dari pada instruksi.

The Good Father

The Good Father

MoTivE

Bila saat ini kita belum berhasil dan sukses bisa jadi karena kita belum bekerja keras, berfikir cerdas dan beramal dengan benar.


Saat menunda amal sholeh berarti kita sedang menunda kesuksesan dan kebahagian.


Seseorang mulia bukan karena apa yang dimilikinya tapi karena pengorbanannya untuk
memberikan manfaat bagi orang lain.