Wednesday, November 18, 2009

Wednesday, November 18, 2009 | 0 comments
IBU, Maafkan aku….


Sebuah harapan yang tak pernah habis aku gantung. Aku ingin sukses.
Aku ingin membahagiakan diriku dan keluargaku. Aku ingin ibuku bahagia dalam hidupnya. Namun masih sering kali aku membuatnya kecewa. Salah satunya kemarin (sudah lama) saat ibu menginginkan aku untuk tetap tinggal di rumah. Ya. Tinggal di rumah bersama beliau. Beliau menginginkan aku teta di rumah. Nggak usah bekerja. Oh maaf. Sebenarnya bekerja juga. Ya bekerja membantu pertanian yang ibu garap.
Itu permintaan ibu padaku. Namun aku membuatnya kecewa dengan pergi dari rumah. Entah egokah aku? Durhakakah aku? Maafkan aku ibu. Aku juga ingin ibu bahagia. Tapi Cuma beda cara Bu. Maafkan aku, mungkin caraku ini ibu nggak paham. (mungkin ini yang disebut dengan jurang pemahaman antara orang tua dan generasi penerusnya).
Aku masih muda bu. Perjalanan hidupku masih panjang. Aku masih harus menapaki sekian banyak jalan yang belum pernah aku tempuh. Aku masih harus banyak berbekal buat masa depanku (ugh… masa depan. Sok idealis). Bekalku, dan mungkin masa depanku, bukan hanya ada di desa ini Bu. Bukan hanya ada di daerah aku lahir. Aku harus keluar dari desa ini. Bukankah Imam Syafi’I juga berkelana? Bukankah orang-orang besar juga mengembara. Bukankah kebijaksanaan akan ditemukan dalam perantauan. Bukankah dalam perantauan akan banyak ilmu yang akan digapai.

Ibu tidak usah khawatirkan rizkiku. Ibu tidak usah memikirkan aku akan makan apa. Ibu tidak usah merisaukan diri karena tidak bisa mengirimiku. Aku tidak minta kiriman Bu. Aku tidak minta ibu mengirimiku makanan atau pun uang. Hanya restu dan doa yang aku pinta, Bu. Ibu harus percaya bahwa aku bisa menjaga diri dan memberi makan diriku sendiri Bu. Allah akan memberi rizki pada hambaNya yang berusaha, Bu. Allah, bahkan menjamin rizki hambaNya yang mencari ilmu di jalanNya, Bu. Anakmu yakin, ibu percaya akan kebesaran Allah bukan?

Atau, apakah ibu mengkhawatirkan keadaan ibu tanpa anakmu ini? Aku yakin dengan haqul yakin bu, Allah akan menjaga ibu. Allah akan memberi ibu rizki sebagaimana Ia juga memberiku rizki. Aku yakin, Allah akan menjaga ibu sebagaimana Ia menjagaku dalam perantauan, Bu. Bukankah Ibu selalu berdoa padaNya. Bukankah ibu selalu curhat padanya di tengah malam-tengah malam umur ibu? Bukankah ibu juga mewarisi kekuatan almarhum ayah, Bu. (ibu saat nulis kalimat ini, aku kangen ayah, Bu…). Bukankah ketegaran hati ibu juga sudah tertempa setelah sekian lama hidup bersama ayah? (dan semoga aku juga memilikinya…)

Sekarang, di sini,di tempatku mengais puing-puing harapan, aku sudah sedikit banyak belajar arti perjuangan dan pengorbanan. Aku harus mengorbankan waktu istirahatku untuk bekerja. Bukan. Bukan bekerja tapi berjuang dan beribadah. Bukankah mencari nafkah adalah ibadah? (Iya. tapi bagiku yang belum nikah ini apakah mencari nafkah itu termasuk ibadah? Ah semoga saja ibadah. Bukankah semua amal tindakan yang dikerjakan dengan menyebut namaNya jadi ibadah? Apalagi ini untuk mencari ilmu dan membahagiakan keluarga? Ah semoga saja… Amien…). Aku juga harus mengorbankan beberapa tahun kuliahku untuk mengalah demi adikku sekolah. Ya aku juga korbankan uang yang aku dapatkan untuk membiayai adikku melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi. Ibu bukankah ini adalah berkat doamu… makasih oh ibu.. Makasih ya Allah.

Sekarang, di sini, di tempatku menyusun kepingan puzzle cita-cita dan bahagia, aku temukan diriku menangis dan tertawa bergantian. Aku temukan diriku berkecukupan dan kekurangan bergantian. Aku dapati aku sudah sedikit bisa menghidupi diriku sendiri dan adikku, walau terkadang gelombang ombak tidaklah kecil aku hadapi. Tapi aku yakin, aku akan berhasil menggapai kebahagiaan yang aku cita-citakan.
Namun terkadang aku masih merasa sedih dalam keoptimisanku. Aku masih terkatung-katung di tengah-tengah lautan cita-cita tanpa aku lihat tepiannya. Ah semoga perahuku lekas berlabuh di pelabuhan besar tingkat internasional. Ah semoga mentalku masih mental juara. Semoga mentalku masih mental serang pejuang. Semoga mentalku masih mental seorang perantau yang tak pernah putus asa. Dan semoga adikku juga mempunyai mental-mental seperti itu.

Ibu, doakanlah kami berdua. Doakan kami sebagai anak-anakmu yang engkau sayangi dan kasihi. Doakan kami agar cita-cita kami tercapai. Doakan kami supaya kami lekas berlabuh dalam pelukanmu kembali duhai ibuku tersayang. Aku kangen, Bu…7:12:35 AM

read more
4 comments

PELAJARAN TANGIS DAN TAWA

Aku terbangun dalam keheningan malam. Aku sadar. Ini adalah niatku. Aku berniat untuk lebih akrab lagi dengan Tuhanku. Ya Tuhanku. Tuhanku yang telah memberi aku hidup ini. Tuhanku yang telah memberi aku keluarga ini. Tuhanku yang telah memberi aku begitu banyak kasih dan sayang. Ya Tuhan, aku ingin selalu bercumbu denganMu, namun egoku terkadang mengalahkanku.

Aku hidup. Karena Tuhanku. Ia telah memberi aku kesempatan menghirup dunia ini sejak 26 tahun yang lalu. Aku lahir lahir di enam November—yang setahuku berbarengan dengan lahirnya wanita berjiwa besar negeri ini, ibu Siti Nur Fadhillah, mantan menteri kesehatan dalam Kabinet Indonesia Bersatu I. Aku bangga dengan tanggal lahirku. Aku juga bangga dengan bintang. Scorpio. Walau sejujurnya aku juga tidak tahu banyak dengan bintang itu untuk apa. Bahkan sering kali aku bertanya-tanya ketika membaca ramalan bintang, baik di majalah atau juga yang tertulis dikoran, kok bisa yach hampir sama dengan yang aku jalani dalam hidup ini. Ah peduli amat. Aku tak mempercayainya karena dulu aku ditegur oleh pamanku suatu kali saat membaca begituan.

Hidupku, menurutku, adalah sebuah perjalanan pembelajaran. Pembelajaran semua mata pelajaran. Pernah aku belajar mata pelajaran menangis. Ya. Itu terjadi saat aku lahir di dunia ini. Kata ibu, aku sering menangis waktu kecil. Bahkan ketika beranjak anak-anakpun aku masih sering menangis. Terutama saat pulang sekolah dasar dan tak ku temui ibu di rumah. Aku langsung nangis di depan pintu. Tidak mau masuk rumah. Tapi malah menjerit-jerit memanggil nama ibuku. (sepotong kenangan yang masih aku ingat. )

Pelajaran ini terulang saat aku di akhir semester dua di tahun keduaku duduk d sekolah menengah. Saat itu aku sakit tipes. Seminggu aku terbaring. Menginap di klinik pondok pesantren. Di tambah tidak punya uang—maklum aku termasuk santri yang jarang dikirim oleh ortuku, aku pun berniat meminta uang kepada ayah yang sedang berdagang di Jakarta. Namun yang terjadi sungguh sebuah hal yang tak pernah aku bayangkan. Aku dimintanya pulang. Pulang ke rumah dan tak kembali ke pondok untuk selama-lamanya. Oh sedihnya aku. Bahkan sampai sekarang aku masih ingat dengan jelas permintaan ayah “Nak, ayah dan ibumu sudah tidak sanggup ngirimin kamu uang lagi. Pulanglah. Hentikan studimu. Di Jakarta ayah kesulitan mencari uang”. Gdubraaak… Andai dibelakangku tidak ada dinding KBU mungkin aku jatuh. Tapi syukurlah aku masih bisa menahan semuanya. Sejak itu aku pun berjuang untuk bisa menyelesaikan studiku tanpa bantuan dari ayah dan ibu. Ups, tidak! Aku masih bantuan dari beliau berdua. Ya aku masih memintanya untuk maaf, bersabar dan berdoa untukku.

Aku meminta maaf kepada orang yang sangat aku sayangi itu karena aku tidak menurutinya untuk berhenti sekolah. Aku akan teruskan sampai lulua. Aku berpikir masa hanya cuma satu tahun lagi saja aku tidak sanggup menyelesaikan studiku. Aku harus bisa. Aku pun meminta beliau berdua bersabar untuk beberapa hal. Pertama, karena aku nggak menurutinya. Kedua, karena kesulitan mencari uang. Ketiga karena anaknya jauh dari rumahnya. Bukankah orang tua sangat khawatir saat anaknya berada jauh dari keduanya. Dan yang terakhir aku meminta keduanya untuk berdoa. Selalu berdoa. Baik untukku yang punya tekad—bukan nekad—untuk menjalani studi tanpa kiriman uang dari beliau, maupun berdoa untuk keluarga semoga keuangan keluarga kembali membaik. Dan berkat sabar, restu dan doa beliau berdua, Alhamdulillah di tahun 2003 (aku juga dapat pelajarn tersenyum dan tertawa bahagia) aku bisa menyelesaikan studiku dengan hampir sempurna. Bahkan aku tak menghiraukan apakah wisuda nanti orang tua datang atau tidak. Aku tak peduli. Namun Allah Maha Mendengar dan Maha Sayang sama hambaNya. Malam sebelum aku di wisuda ayahku tercinta datang dengan pamanku tersayang. Pagi harinya aku menangis dalam pelukan serang ayahku yang sangat aku banggakan. Terima kasih ayah… terima kasih Tuhan… Aku tahu alasan kenapa ibu tidak datang. Kalianpun pasti bisa menebaknya.

Kembali aku terima pelajaran menangis ini di bulan ramadhan tahun 2004. Saat itu aku sudah mengajar di MTs Al-Mu’minien. Ya aku mengabdikan diriku di pesantren yang membantuku menyelesaikan studiku. Ramadhan itu, liburan, aku pulang ke rumah tanggal dua puluh dua. Keesokan harinya, saat aku wiridan usai menunaikan shalat dluhur berjamaah bersama adikku terdengar deru mobil memasuki pelataran rumahku. Aku heran. Aku belum punya mobil kok sudah ada mobil yang datang ke rumahku. Aku pun heran, tak mungkin mbak pulang dari luar negeri tanpa memberi kabar. Usai kututup doaku, aku menyongsong ke sana, dan langkahku berubah menjadi lari saat aku tahu ayahku yang aku banggakan tak sadarkan diri dalam tanduan beberapa pamanku. Dengan tergopoh aku mendahului mereka masuk. Aku siapkan tikar dan kasur. Menggelarnya di ruangan tengah. Ibu menangis tak tertahan. Pertanyaan tak henti-hentinya keluar dari mulut ibu. Adikku diam tak bergerak melihat semuanya terjadi.

Setelah ayah dibaringkan dan semuanya tenang, paman mengatakan “ayahmu jatuh, nak, tepatnya saat ia sedang menggiling bumbu di depan kontrakan. Ia jatuh dan langsung tak sadarkan diri. Aku yang sudah berangkat jualan, disusul oleh pamanmu ini” sambil menunjuk paman keduaku. “akhirnya kita putuskan untuk membawanya pulang” lanjutnya.
Setelah dapat masukan dari berbagai kepala—ada yang melontarkan ide dib aw ke rumah sakit saja, ada juga yang bilang di rawat di rumah saja—aku putuskan untuk mencoba merawatnya di rumah dan dengan bantuan tetangga sekaligus guru agamaku, aku menjemput ustadz Shoim yang katanya sering menangani penyakit seperti ini. Dan ternyata ayahku di vonis kena stroke. Subhanallah… air mataku menangis. Bukan saja sejak dengar vonis itu. Tapi di awal aku tahu ayah sakit tak sadarkan diri.

Di hari ke 34, setelah menjalani berbagai macam terapi dan perawatan dari ust. Shoim, ayahku sudah bisa bangun dan tersenyum lagi. Bahkan ia memintaku anak laki-laki satu-satunya menuntunnya jalan-jalan. Melemaskan kaki, katanya. Dan dengan senang hati aku menuntunnya, menjaganya dan menyuapinya makan saat ia butuh makan. Hari-hari itu adalah hari-hari aku juga mendapatkan pelajaran tersenyum dan tertawa di sela-sela pelajaran menangis. (sobat ternyata di balik setiap sesuatu ada sesuatu yang lain. Percaya dech…)

Dan tepat di hari ke 40 Allah sangat merindukan ayahku tercinta. DipanggilNya ia. Tepat jam 00.30. hari jum’at. Tiga hari sebelumnya ayah terjatuh dan tak sadarkan diri selama itu sampai Allah memanggilnya. Beberapa setelah hembusan nafas terakhir ayah, setelah aku tersadar dari tangis, aku kabari semua orang yang aku kehendaki. Termasuk pengasuh pondok pesantren Al-Mu’minien yang juga aku pinta doanya. Jam 9 pagi jenazah ayah dishalati di masjid samping rumah. Begitu hendak diusung ke pembaringan terakhir kembali aku dikejutkan sebuah mobil bagus berhenti di jalan depan rumahku. Kemenakanku berlarian ke arahku yang sedang mengusung jenazah ayah, “kak ada tamu”. Aku terbengong. Aku berikan usungan itu ke paman yang berada di sampingku. Aku hampiri tam itu. Dan ternyata antara tangis dan tersenyum bahagia aku mengetahui bahwa yang datang adalah kyai. Aku menyalaminya dan mempersilahkan masuk. Namun beliau bilang “kita shalati dulu jenazah ayahmu”. Maka atas komando paman jenazah yang sudah keluar dari masjid kembali masuk dan di shalati oleh beliau dan beberapa teman pengajar PP. Al-Mu’minien. Aku lihat ibu, yang sesenggukan didekati oleh ibu Nyai dan beberapa ustadzah. Aku nggak tahu apa yang beliau bicarakan. (kembali palajaran tawa dan senyum aku dapati di tengah-tengah pelajaran tangis aku terima).

Bahkan kini, banyak sudah pelajaran tangis dan tawa diajarkan padaku hampir secara bersamaan. Aku mensyukurinya. Aku sungguh sangat bersyukur pada Tuhanku, Allah SWT, yang telah dan terus mengajariku berbagai pelajaran yang sangat dan tiada kira harganya. Karenanya aku berniat untuk lebih dekat denganNya. Aku ingin lebih lama berada dalam dekapan kasih sayangNya. Aku ingin tidak jauh dariNya. Monday, November 16, 2009

read more
0 comments

TEGURAN...


Aku tersentak kaget begitu membaca sms dari kemenakanku. Walau aku tahu ini Cuma bercanda, tapi tetap saja bikin aku kaget setengah mati.

“kang ana salam sing malaikat”

Anganku melayang menuju sebuah kejadian yang baru setengah jam berlalu menimpaku. Main bola dan terjatuh sehingga tulang dan otot lututku berubah tempat. Lututku bengkak. Bahkan tidak bisa aku tekuk untuk berjalan. Sehinga dengan terpaksa aku digendong teman-temanku. Sampai di kamar aku lihat jam 17.06. ah bentar lagi aku harus ke mushola. Aku bangun. Tapi ah… sakitnya minta ampun. Bahkan aku nggak bisa gerakkan kakiku sama sekali. Untuk berubah posisi dari teaku rlentang ke tengkurap saja sulitnya sangat. Akhirnya aku tertidur dan bangun saat dering hp berbunyi. 1 mesaage. Aku buka dan aku temukan sms di atas.

Aku terhenyak. Terlebih aku baru ingat aku belum shalat maghrib dan isya. Subhanallah… bagaimana ini terjadi? Ya aku tertidur saat “menikmati” kesakitanku dan aku baru bangun setelah dua jam kemudian. Pukul 20.04

Sms itu terus menghantuiku. Oh.. seandainya benar malaikat menjengukku, apa yang akan menimpa diriku. Beruntung bila ia malaikat pembagi rizki, gimana kalau malaikat pencabut nyawa? Oh tidak…

Ah, aku jadi teringat kejadian tahun 1999. Saat aku sakit tipes di pesantren, di Cirebon sana. Saat itu aku sudah 3 hari tidak masuk kelas. Aku istirahat di kamar. Sekitar jam 11.45 aku tertidur. Kepalaku berada di sebelah utara. Kaki ada di sebelah selatan. Aku tutup rapat. Aku bermimpi dalam tidurku. Aku bermain-main dengan adikku tersayang yang masih kecil saat itu disebuah taman yang indah. Sunggguh indah sekali. ibuku juga ada di situ. Saat ibuku pergi dan aku mengejar adikku yang di belakang ibu, aku dikejutkan oleh seseorang berbaju putih. Memakai tutup kepala juga putih. Tutup kepala itu menyambung ke bajunya dan bahkan ke bawahnya juga. Yang semua anggota tubuhnya tertutup karenanya. Aku sama sekali tidak mengenalnya. namun ia mengajakku pergi ke sebuah tempat.
“ayo ikut aku sebentar”
“Gak ah. Ntar ibuku nyari’
“gak kok. Cuma bentar!” katanya agak tegas.
“Gak ah gak mau!” aku jawab tegas juga mengimbaninya.
Seketika itu ia menarik tanganku. Aku terbelalak kaget. Dan aku melihat jam pukul 11.50. sungguh nyata. Ya jamitu adalah jam dinding di kamarku. Aku melihatnya dengan jelas jam berwarna putih bergaris-garis hitam itu menunjukan jam 11.50. sudah masuk waktu dluhur. Bahkan, samar terdengar suara azan dari masjid.
“ayo ikut aku sebentar saja” orang itu masih mengajak dan menarik tanganku.
“gak mau. Aku belum shalat. Aku shalat dulu” teriakku ketakutan.
Terjadi tarik menarik antara aku dan dirinya. Dan anehnya begitu tanganku terlepas darinya, aku merasa ada yang keluar dari hidungku dan kembali masuk ke dalam diriku lagi. Saat itu aku berpikir dia adalah malaikat yang menjemputku. Malaikat pencabut nyawa. Makanya aku nggak mau ikut dengannya. Aku belum siap. Belum banyak amal sholeh yang aku perbuat. Apalagi aku belum shalat dluhur. Jadi aku berontak sekuat mungkin.
Eh ternyata sobat, tahu nggak? Dia bukan malaikat. Tapi… ah, tidak jadi aku kasih tahu deh. Cukup aku, beliau dan dia saja yang tahu.
Kembali dengan keadaanku saat ini.
Aku bangun dengan begitu sangat sakit kurasakan di bagian lututku. Aku terpaksa berjalan merambat tembok kamar. Sampai kamar mandi hampir saja terjatuh saat aku menumpukan beban tubuh pada kaki kananku yang terluka. Usai ambil air wudlu aku shalat. Dengan duduk menjulurkan kaki aku shalat, ini aku lakukan ijtihad (duh gayanya make ijtihad segala…) setelah aku coba untuk menekuk lutut tapi nggak bisa. Ah, bukankah Allah Maha Melihat dan Maha Rahman.

Usai shalat sms itu kembali aku baca. Ya Allah, apakah ini adalah teguranMu? Ya. Atau bukan, aku tak peduli. Aku menganggapnya adalah teguran bagiku. Bagi seorang aku yang telah begitu banyak dosa aku lakukan.
Bagiku, jatuhku adalah teguran. Teguran karena begitu seringnya aku berbuat dosa dengan tangan dan kakiku. Teguran dari Allah yang masih menyayangiku. Teguran yang sangat mengena. Ya. Aku harus berhenti. Aku harus menghentikan kebiasaanku berbuat dosa. Dosa yang telah banyak aku perbuat. Astaghfirullah… Ya Allah… ampuni dosa-dosa hambaMu yang hina ini. La ilaha illa Anta subhanaka inni kuntu minadz dzolimien… Astaghfirullah…

Bagiku sms itu juga adalah teguran untukku. Teguran agar aku bersegera tobat. Karena ajal tak pernah ada yang tahu kapan datang. Malaikat pencabut nyawa tak pandang waktu dan keadaan kapan ia datang. Begitu ia perintahkan, maka ia tak menunda waktu. Ya. Aku harus cepat-cepat bertobat. Tobat yang sesungguhya. Bukan tobat sambel. Apalagi tobat kacangan. Tobat yang tak berkelas.

Astaghfirullah…
Astaghfirullah…
Astaghfirullah…
La ilaha illa Anta subhanaka inni kuntu minadz dzolimien…


read more

kambing etawa

kambing etawa
kambing gemuk makan fermentasi gedebok

silahkan coba...!!!

Blog Archive

Hidup tak akan memberimu apa-apa kecuali kau memaknai hidup dengan caramu...
 

Express

Seorang kawan yang mendampingi kita pada saat kesulitan lebih baik dari pada seribu
kawan yang mendampingi kita pada saat kebahagiaan.


Berkata benar dapat sangat menyulitkan bahkan beresiko ditolak. Tetapi itulah satu-
satunya pilihan jika kita membangun hubungan yang baik.

Anak lebih membutuhkan bimbingan dan simpati dari pada instruksi.

The Good Father

The Good Father

MoTivE

Bila saat ini kita belum berhasil dan sukses bisa jadi karena kita belum bekerja keras, berfikir cerdas dan beramal dengan benar.


Saat menunda amal sholeh berarti kita sedang menunda kesuksesan dan kebahagian.


Seseorang mulia bukan karena apa yang dimilikinya tapi karena pengorbanannya untuk
memberikan manfaat bagi orang lain.